"Tepatnya di belakang stadium Gelora Bandung
Lautan Api, terdapat desa yang sejauh mata memandang dipenuhi bermacam limbah dari
sampah dan korporasi raksasa. Desa yang jika orang-orang bertanya mengenai
pepohonan dan dan air bersih, akan banyak jawaban yang memilukan, semacam
kebingungan masyarakat; keresahan dan kegelisahan; juga makian dan tak jarang
apatisme dari orang dewasa dan anak-anak."
Desa yang dikenal dengan nama Tegal
Sumedang ini, memiliki banyak sawah. Namun—kembali diungkapkan—pepohonan untuk
sumber penyerapan air dan pemberi udara segar, sangat minim dan teramat kering.
Tak heran, jika masyarakat luar yang pertama kali datang ke desa ini akan
mengrenyitkan dahi, semacam kegalauan atau keperihatinan ekologis.
Jika udara panas mendera, tak pelak
lagi, semacam suhu udara di timur tengah, desa ini terasa teramat gersang.
Sebaliknya, jika musim hujan datang, jalan-jalan yang dipenuhi tanah cokelat
hasil dari penggalian pembangunan sungai, akan becek tak karuan. Ya, jika konstruk tanah sepeti itu, tak
heran jika kendaraan warga atau para pendatang dan orang yang sekedar lewat
akan kotor seketika.
Menurut
hasil wawancara dari beberapa tokoh masyarakat desa Tegal Sumedang, ketika
membicarakan kesadaran kolektif mengenai bermacam hal, akan didapati jawaban
yang menghawatirkan. Seperti halnya ketika melakukan wawancara kepada kang
Opik, yang tak lain merupakan tokoh kepemudaan dan Karang Taruna, ihwal
keasadaran membangun desa secara kolektif dan menyinggung kondisi ekologis
setempat, ia mengatakan: “di desa ini, jika ada suatu kegiatan yang bersifat
gotong royong, itu tak akan lama bertahan. Mungkin tak lebih dari dua bulan, sifat
gotong royong itu akan lenyap. Tak jauh berbeda dengan kesadaran ekologi itu
sendiri”.
Ini menjadi tantangan bagi kita,
beberapa mahasiswa yang tergabung dalam satu kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN)
berbasis pemberdayaan masyarakat, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tak hanya
beban moral dan beban sosial yang harus kita sadari. Lebih dari itu, kesadaran
pembangunan manusia dan lingkungan yang sehat mesti disadari sedari dalam
pikiran. Kita lihat kondisi beberapa wilayah yang dihinggapi megahnya pembangunan
korporasi seperti pembangunan pabrik semen di Kendeng, ketidak-adilan
pemberdayaan air bersih oleh salah satu pabrik Air Minun dalam Kemasan (ADK) di
Sukabumi, juga krisis ketidak-adilan moral agraris di Karawang.
Mahasiswa,
memiliki beban berat dalam punggungnya. Ia mesti melakukan perubahan yang tak
hanya mematok pada narasi-narasi perjuangan hari lalu. Ia harus melakukan
perubahan dengan lugas dan jeli melihat keadaan sekitarnya hari ini. Seperti
halnya yang diistilahkan Moeslim Abdurahman, seorang intelektual mestilah
menghapus segala macam dosa sosial, ia mesti memunculkan jiwa nabi sosial yang
memiliki sifat profetik. maka tak heran, seorang intelektual semacam itu, oleh
Moeslim Abdurrahman dan Mansoer Faqih disebut dengan intelektual organik. Intelektual
yang menghidupakan kematian lingkungan sekitarnya.
Maka
dari itu, terlepas dari kegiatan KKN ini, kita mencoba dan mengusahakan
penghapusan dosa sosial (krisis ahlak, kejahatan korporasi terhadap lingungan
lokal, kerangka berpikir masyarakatnya, dan lain sebagainya) yang terdapat di
desa ini. Bersama beberapa elemen masyarakat—terlebih tokoh masyarakat dan
pemuda—kita mencoba berbaur melaksanakan kegiatan yang sederhana namun berharap
merubah kesadaran pembangunan terhadap masyarakatnya yang bersifat jangka
panjang. Hingga pembangunan lingkungan secara kolektif dapat timbul.
Kontributor: Zul